Ayat bacaan: 2 Samuel 9:8
=====================
"Lalu sujudlah Mefiboset dan berkata: "Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?"
Pernahkah terpikir oleh anda bahwa rasa rendah diri yang berlebihan bisa menggagalkan kita dalam menggapai mimpi dan rencana-rencana yang besar dalam hidup ini? Ketika orang mengira bahwa ada tidaknya gelar, tingginya ilmu, IQ, modal atau relasi yang berperan paling penting dalam keberhasilan, banyak yang lupa bahwa faktor rendah diri seringkali menjadi penyebab utama kegagalan kita. Kerap kita menilai diri kita terlalu rendah, merasa bahwa kita tidaklah punya apa-apa yang bisa dibanggakan dalam hidup ini. Dengan pola pikir seperti itu tidaklah heran apabila kemudian mereka yang rendah diri ini kemudian menutup dirinya rapat-rapat. Mereka menyendiri, menjauh dari kerumunan orang dan merasa tidak nyaman ketika berada dekat dengan orang lain. Kalau sudah begini, bagaimana bisa maju? Banyak sekali orang yang hanya memandang kekurangannya dan mengabaikan apa yang menjadi keistimewaan dirinya. Tidak jarang pula diantara orang yang seperti ini lalu menyalahkan situasi, keadaan atau kondisi, menyalahkan orang lain seperti orang tua, saudara, teman dan sebagainya, bahkan bisa pula menyalahkan Tuhan karena merasa orang lain diberkati lebih dari dirinya sendiri. Mereka tidak mampu melihat kesempatan-kesempatan yang sesungguhnya telah dibukakan Tuhan di depan mata mereka. Mereka tidak lagi peka terhadap suara Tuhan dalam hati mereka. Kegagalan pun akan semakin menenggelamkan mereka dan mereka jadikan bukti atas kekurangan mereka. Padahal apa yang menyebabkan kegagalan itu bukanlah kekurangan atau keterbatasan mereka, melainkan justru akibat rasa rendah diri yang berlebihan. Saya mengenal banyak orang yang bersinar di tengah keterbatasannya, seperti cacat misalnya. Mereka justru tampil luar biasa yang kerap lebih dari orang yang tubuhnya sempurna. Dari orang-orang seperti ini saya selalu melihat adanya tekad yang luar biasa dan mereka tidak tenggelam dalam keluhan akan kondisi mereka. Sebaliknya mereka tetap bersyukur dan dengan itu mampu memaksimalkan potensi mereka. Seorang penyanyi buta dari Amerika pernah berkata kepada saya: "I'm thankful for being blind, because then I can focus totally on my music." Tidakkah sikap seperti ini mengagumkan? Sayangnya hanya sedikit orang yang bisa memiliki pola pikir seperti ini. Kebanyakan orang memilih untuk mencontoh sikap dari Mefiboset.
Siapakah Mefiboset? Mefiboset adalah anak Yonatan, cucu dari Saul yang pernah menjabat raja Israel. Serangkaian peristiwa dan keadaan membalikkan kehidupannya dan mengubahnya menjadi pribadi yang rendah diri. Ayahnya dan kakeknya kalah dalam perang dan mati terbunuh dengan mengenaskan. Jika itu belum cukup, ia pun dikatakan cacat kakinya. "Yonatan, anak Saul, mempunyai seorang anak laki-laki, yang cacat kakinya. Ia berumur lima tahun, ketika datang kabar tentang Saul dan Yonatan dari Yizreel. Inang pengasuhnya mengangkat dia pada waktu itu, lalu lari, tetapi karena terburu-buru larinya, anak itu jatuh dan menjadi timpang. Ia bernama Mefiboset." (2 Samuel 4:4). Ia lalu diasingkan di sebuah tempat tandus bernama Lodebar. Rangkaian peristiwa ini membuatnya merasa diri begitu rendah. Seperti yang kita baca kemarin, pada suatu kali setelah menjadi raja, Daud mencari keturunan Saul untuk dipulihkan hak-hak hidupnya berdasarkan kasih dari Allah. Ia pun diberitahu bahwa ada anak Yonathan yang ternyata masih hidup. (2 Samuel 9:3). Mendengar itu, Daud pun segera menyuruh Mefiboset untuk datang menghadapnya. Ketika Mefiboset menghadap, "Kemudian berkatalah Daud kepadanya: "Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku." (ay 7). Ini cerminan kasih Allah yang tak terbatas oleh status, situasi, masa lalu dan sebagainya. Seharusnya Mefiboset bersyukur mendapati kasih dari Daud seperti ini. Tapi itu bukanlah sikapnya. Ia merasa begitu rendah diri sehingga tidak pantas untuk memperoleh itu semua. "Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?" (ay 8). Ia merasa begitu rendah tak berharga hingga harga dirinya bukan saja seperti anjing, tapi lebih dari itu, ia merasa bagai anjing mati. Daud sudah berusaha memulihkan harga dirinya. Bahkan Mefiboset diundang untuk duduk semeja dan sehidangan dengan Daud, sang raja. Namun tetap saja ia tidak bisa keluar dari perasaan rendah dirinya.
Waktu terus berjalan. Dalam 2 Samuel 19:24-30 kita bisa melihat bahwa belakangan Mefiboset tidak kunjung mampu memulihkan citra dirinya meski ia sudah mendapat kasih Allah lewat diri Daud. "Juga Mefiboset bin Saul menyongsong raja. Ia tidak membersihkan kakinya dan tidak memelihara janggutnya dan pakaiannya tidak dicucinya sejak raja pergi sampai hari ia pulang dengan selamat." (ay 24). Perhatikan ia membiarkan dirinya dalam keadaan kumal, tidak terawat dan kotor. Ia bahkan tidak merasa pantas untuk tampil baik, di hadapan raja sekalipun. Ketika Daud kemudian memutuskan untuk memberikan ladang yang tadinya milik Saul untuk dibagi dua antara Mefiboset dan Ziba, hamba Daud, kembali Mefiboset menunjukkan sikap rendah dirinya yang sangat parah itu. "Lalu berkatalah Mefiboset kepada raja: "Biarlah ia mengambil semuanya, sebab tuanku raja sudah pulang dengan selamat." (ay 30). Betapa sayangnya. Pada akhirnya Mefiboset tidak mendapatkan apa-apa. Dan semua itu karena ia tidak kunjung menyadari citra dirinya yang benar. Rasa rendah diri telah memerangkapnya sedemikian rupa sehingga ia membuang kesempatan berharga untuk dipulihkan dan dilayakkan untuk menjalani kehidupan barunya bersama raja yang penuh kasih.
Perhatikanlah, bukankah kita sering membuang-buang kesempatan terus menerus seperti Mefiboset? Ketika rasa rendah diri muncul berlebihan tidak pada tempatnya maka kita pun akan kehilangan peluang untuk bisa bangkit dan berhasil. Tidak tertutup pula kemungkinan ketika rasa rendah diri ini terus berlanjut, maka kesempatan kita untuk hidup di Kerajaan surga bersama Sang Raja pun sirna, seperti yang tersirat dalam kisah Mefiboset. Karena itu kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Tidak ada manusia yang sempurna, semua kita memiliki kekurangan sendiri. Tetapi jangan lupa bahwa di sisi lain kita pun memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri pula. Siapapun kita, tidak peduli apa kata orang lain tentang kita, bagi Tuhan kita tetaplah karya ciptaanNya yang terindah. We are still and will always be His masterpiece. Kita dikatakan dibuat sesuai gambar dan rupaNya sendiri (Kejadian 1:26), dikatakan ditenun langsung oleh Tuhan dalam kandungan (Mazmur 139:13) dan dilukiskan pada telapak tangan Tuhan, berada di ruang mataNya (Yesaya 39:16). Artinya, apabila Tuhan menciptakan kita dengan sangat istimewa seperti itu, tentu ada rencanaNya yang indah bagi kita. Dan itupun sudah berulang kali pula Tuhan ingatkan. Jika demikian mengapa kita harus rendah diri dan menutup sendiri segala kesempatan yang kita miliki hingga sirna begitu saja? Hindarilah sikap Mefiboset sedini mungkin. Jangan sia-siakan lagi segala yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Terima diri kita apa adanya, bersyukurlah atas siapa diri kita hari ini dan cari tahu apa yang menjadi panggilan Tuhan bagi kita. Dari sana, tingkatkan, tumbuhkan dan kembangkan setiap potensi yang ada dan muliakan Tuhan dengan itu. Jangan sampai kita menjadi Mefiboset-Mefiboset modern di hari ini.
Rasa rendah diri menggagalkan berkat turun atas kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar