Alkitab tidak pernah menjadi kuno dan ketinggalan zaman. Saya tetap merasa disegarkan ketika menemukan ayat-ayat yang sudah saya pelajari 99 kali ataupun saya telah membacanya ratusan kali, mendorong saya untuk tetap merenungkan Firman itu. Di dalam kisah kelahiran Yesus, saya menemukan sebuah prinsip yang terjadi berulangkali di dalam Alkitab, yaitu Allah selalu menyampaikan pewahyuan-Nya kepada orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan. Seseorang dianggap layak di hadapan Tuhan bukan berdasarkan kedudukan, kemampuan, dan ketenarannya.
Karena Maria dan Yusuf berasal dari keluarga yang sederhana, hampir tidak bisa dipercaya bahwa mereka berdua merupakan orangtua dari Mesias. Sama seperti mereka yang terpilih untuk menerima kabar kelahiran Kristus, Yusuf dan Maria juga bukan orang yang memiliki status sosial yang tinggi, bahkan para gembala termasuk di dalam kelas yang paling rendah. Allah menyatakan rencana-Nya kepada individu-individu ini bukan karena status keduniawian mereka, tetapi karena hati mereka benar di hadapan Allah. Allah memakai mereka yang memiliki hati sebagai hamba yang selalu berserah kepada kehendak-Nya.
Ketika Allah menuntun kita kepada sebuah pekerjaan yang besar, mungkin kita bertanya-tanya, mengapa aku yang dipilih? Kita seringkali tergoda untuk berpikir, sesungguhnya Dia menginginkan orang yang memiliki keahlian lebih dan juga memiliki hikmat. Kenyataannya, banyak tokoh-tokoh Alkitab pun, seperti Gideon dan Musa yang mengutarakan sentimen yang serupa kepada Allah (Hakim-hakim 6:15; Keluaran 3:11). Tetapi kita tidak boleh membiarkan kekurangan kita menghalangi kita dari menaati perintah-Nya. Apabila Allah memilih kita untuk melakukan suatu tugas tertentu, maka Dia juga yang akan memberikan kekuatan dan hikmat untuk menyelesaikan tugas itu. Yang kita perlukan hanyalah kemauan dan roh yang taat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar